Thursday, February 15, 2007

Tokoh kecil yang BESAR

[Source : Kompas]

JAM belum menunjukkan pukul 10.30 saat Dauzan Farook (79), pemilik perpustakaan Mabulir-yang tengah duduk di sofa usang di ruang tamu yang menjadi satu dengan perpustakaannya-menyapa Kompas. Ia baru saja bangun dari tidurnya. Senyum tuanya mengembang. "Maaf, tadi sudah kemari ya?" sapanya.

PRIA yang kerap dipanggil Pak Farook atau Pak Dauzan Farook ini memang terbiasa tidur kembali setelah menjalankan ibadah shalat subuh. Namun, sebelum tidur kembali, ia biasa terlebih dulu mempersiapkan buku-buku lama yang akan diperbaiki karyawannya. Maklum, usia lanjut menuntutnya untuk cukup istirahat. Meski tidak terlalu berat, pekerjaannya menyita waktu dan tenaga.

Menjelang siang, ia kembali bergelut dengan buku-buku koleksinya yang mencapai 5.000 buah lebih. Belum lagi jika ditambah dengan majalah yang jumlahnya hampir sama. Sore harinya, seusai shalat ashar, ia kembali disibukkan dengan berkeliling, mengunjungi peminjam yang tersebar di sekitar kota Yogyakarta. Aktivitasnya berlanjut pada malam hari, saat Dauzan biasa pergi ke pasar buku-buku bekas untuk membeli buku-buku guna menambah koleksinya.

Aktivitas Dauzan Farook memang tidak bisa dilepaskan dari perpustakaan. Rumahnya yang berada di sebuah gang sempit di Kampung Kauman, kota Yogyakarta, mudah dikenali. Dibandingkan dengan rumah-rumah yang lain, rumahnya kelihatan paling mencolok. Di dindingnya terpasang majalah dinding dan juga nama Mabulir, singkatan dari Majalah dan Buku Bergilir.

Di perpustakaan itu memang peminjam dapat memilih, membaca, sekaligus meminjam buku untuk dibawa pulang secara bergiliran. Semuanya tanpa dipungut biaya. "Saya tidak menarik sepeser pun dana dari peminjam. Walaupun saya selalu defisit setiap bulan untuk membiayai operasional perpustakaan ini," jelasnya.

Sebaliknya, peminjam hanya diwajibkan menjaga koleksi buku-buku tersebut melalui doktrin yang ia berikan dalam label "Amanat Umat", yang berarti "dari umat, oleh umat, dan untuk umat". Apabila peminjam menghilangkan atau merusakkan buku, berarti mereka telah merugikan orang banyak (umat). Keyakinan seperti itu terus dijaganya hingga saat ini.

"Kami juga tidak menuntut mereka untuk mengembalikan. Berdasar kesadaran, biasanya mereka sendiri yang menggantinya dengan buku lain apabila ada yang hilang. Kalau mereka susah mengembalikan, saya yang harus datang mengambil ke tempat tinggal mereka," tambahnya.

Upaya mendatangi peminjam bukan saja untuk mengambil buku, melainkan juga meminjami. Ia rela berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain, dengan tujuan peminjam dapat memperoleh buku untuk dibaca. Sebagian besar peminjam buku di Perpustakaan Mabulir adalah orang dewasa. Namun, tidak sedikit pula anak-anak muda. Mereka umumnya remaja masjid, penghuni asrama, masyarakat umum, hingga tukang becak sekalipun.

Untuk menjaga koleksinya, mulai beberapa tahun terakhir Perpustakaan Mabulir tidak lagi melayani perorangan. Bagi peminjam baru diharuskan membuat kelompok minimal lima orang. Salah satu anggotanya akan menjadi koordinator yang nantinya akan memfasilitasi peminjaman buku untuk anggota kelompok yang lain.

Menurut dia, tidak semua kelompok akan lulus tes. Biasanya, sebelum ditetapkan lebih jauh, ia sendiri yang akan menguji. Dua kali berturut-turut, kelompok itu hanya akan dipinjami tabloid. Baru, setelah keseriusannya terlihat, kelompok tersebut akan dipinjami buku.

UNTUK menjalankan operasional sehari-hari, sejak tiga tahun terakhir ia dibantu empat orang karyawan. Mereka bertugas mulai dari menjaga perpustakaan, melayani peminjam, memberi sampul, memperbaiki buku yang rusak, hingga menjadi pengawalnya saat mengunjungi para peminjam. Karyawan-karyawan yang bekerja di Perpustakaan Mabulir tidak bekerja secara cuma-cuma. Mereka juga memperoleh gaji Rp 10.000 per hari.

Dari mana dana untuk menggaji karyawan didapat, sementara tak ada pemasukan dari pelanggan perpustakaan? Rupanya Dauzan rela untuk menggunakan uang pensiun. Bahkan, tidak jarang biaya operasional yang harus dikeluarkan jauh lebih besar dari uang pensiun yang ia terima.

Menurut Dauzan, biaya operasional untuk merawat buku setiap hari mencapai Rp 5.000. "Itu belum termasuk biaya ojek setiap harinya. Untuk berkeliling dan menemui pelanggan, saya selalu memakai ojek langganan," jelasnya.

Untuk menutup kekurangan itulah, ia mengaku harus menggunakan uang simpanannya. Tak heran kalau setiap bulan defisit bisa mencapai lebih dari Rp 1.000.000 lebih. "Banyak orang bilang, kekurangan itu sebenarnya bisa sedikit saya tutup dengan bayaran pinjaman buku. Namun saya tidak mau. Saya ingin memberi contoh bahwa budaya pengabdian dalam bidang pendidikan itu dilakukan dengan sepenuh hati," ungkapnya.

Sedangkan untuk membeli buku, ia memanfaatkan uang yang diperoleh dari sumbangan orang lain. Selama ini, sumbangan dari peminjam dan orang yang mengenalnya kerap kali mengalir.

Selain itu, ia juga mendapatkan buku dari penerbit-penerbit di Yogyakarta. Ada beberapa penerbit yang setia memberikan buku kepada Perpustakaan Mabulir. Salah satunya adalah Penerbit Pustaka Pelajar yang selalu mengiriminya buku setiap kali peluncuran buku baru.

"Tidak semuanya buku diberi oleh penerbit. Kita juga kerap kali membeli dari mereka. Tentunya dengan harga yang murah, atau beli yang reject-an (maksudnya yang tidak layak jual)," jelasnya.

Menurut dia, dari 5.000 buku yang ada di perpustakaannya, sebagian besar merupakan buku-buku agama. Sebagian lainnya buku-buku ilmu pengetahuan, sejarah, serta aneka kamus bahasa asing. Jenis buku-buku yang menjadi koleksi Perpustakaan Mabulir bukan atas kemauan sendiri, melainkan mengikuti kemauan pasar.

Untuk buku-buku yang lama, seperti buku mengenai agama, ia sengaja menyisipkan suplemen berupa buku lain yang lebih kecil. Sedangkan buku-buku yang tidak terpakai, ia berikan pada orang lain, termasuk masjid-masjid yang belum memiliki perpustakaan. Tidak jarang, ia memberikan ke masyarakat di pedesaan melalui mahasiswa yang tengah mengikuti kuliah kerja nyata (KKN).

DAUZAN Farook lahir tahun 1925 di Kampung Kauman Yogyakarta. Kecintaannya terhadap buku mulai ada sejak kecil. Bapaknya, H Muhammad Bajuri, menjadi pengelola Taman Pustaka Muhammadiyah atau Perpustakaan Muhammadiyah.

Ketika remaja, ia juga turut berjuang. Dirinya pernah bergabung dengan para gerilyawan dalam pasukan Sub Wehrkreise (SWK) 101. Ia juga terlibat kontak fisik dalam penyerbuan gudang senjata Jepang di Kota Baru 6 Juli 1947. Bahkan, Dauzan Farook juga terlibat dalam Serangan Oemoem 1 Maret 1949.

"Saya dulu juga tergabung dalam Hisbullah yang ditugaskan di Kota Baru, sebuah laskar pejuang dari kalangan Islam. Kemudian saya terekrut dan menjadi tentara pelajar. Saya sendiri belajar cara berperang justru dari Jepang, saat itu niat Jepang ke Indonesia masih baik," jelasnya.

Sejalan dengan perkembangan waktu, muncul keinginan dari dirinya untuk melanjutkan usaha batik orangtuanya. Akhirnya ia memilih keluar dari ketentaraan, saat itu pangkatnya masih letnan dua. Ketika usaha batik orangtuanya hancur tahun 1957, ia memutuskan untuk berdagang emas dan menjadi distributor buku.

Ia kemudian berbuat sesuatu sesuai dengan potensinya. Sejak tahun 1993, ia mulai membuka Perpustakaan Mabulir. Semua ini berawal dari kesadarannya untuk memanfaatkan uang pensiun veteran sebesar Rp 500.000 per bulan untuk kemajuan negara. "Saya seperti mendapat amanah besar untuk memakai uang itu sebaik-baiknya," ujarnya.

Dengan sistem multi-level reading, ia berharap buku yang ia pinjamkan dapat dibaca banyak orang. Saat ini, jumlah kelompok bacaan yang dimilikinya mencapai 100-an buah, dengan masing-masing anggota kelompok mencapai 4-20 orang.

Mabulir memiliki perwakilan di lima kota, yaitu Jakarta, Solo, Brebes, Purworejo, dan Magelang. Para pemilik cabang tersebut sebelumnya adalah pelanggannya. Usianya yang semakin tua, membuatnya tidak kuat lagi membaca buku-buku yang ada. Alasan utamanya tidak memiliki kesempatan untuk membaca buku tebal. Kalaupun ada, ia hanya membaca pengantar dan sinopsisnya saja.

Ketika ditanya siapa yang akan meneruskan perpustakaan itu, sementara tak satu pun dari delapan anaknya yang berminat untuk meneruskan, Dauzan tercenung. "Saya hanya bisa menyebarkan virus untuk mengangkat minat baca masyarakat dengan sistem perpustakaan keliling. Entah siapa yang meneruskan, bisa siapa saja…," katanya.(Y10)